Sunday, 11 February 2018

Pesantren, cerita Wayang dan Barongsai di Pesanteren

Pertunjukan wayang kontemporer oleh sejumlah seniman terkemuka Indonesia, seperti Heri Dono, Nasirun, dan Samuel Indratma bakal mewarnai Pekan Budaya Cigaru (PBC) 2017 yang digelar Pondok Pesantren Miftahul Huda, Cigaru, Majenang, Cilacap pada 17-21 Desember 2017.

BILIK SANTRI


Kompleks pesantren sebagai arena festival akan dirias dan disulap lebih indah dengan instalasi lampion dan wayang terbang. Warna-warni cahaya lampion merupakan simbol harapan rahmat dan berkah untuk seluruh umat manusia yang beragam budaya dan ras.

Pekan Budaya Cigaru bakal dibuka dengan karnaval sedina dadi wayang atau sehari menjadi wayang. Tema wayang dipilih lantaran merupakan bentuk kesenian paling populer dan atraktif di mata masyarakat desa. Pun, wayang mengandung unsur transformasi moral dan spiritual.
Peserta karnaval yang terdiri dari para santri, warga desa, komunitas minat-bakat dan antar iman bakal mengenakan kostum wayang, adat dan pakaian eksprimental sebagai manifestasi rasa syukur sekaligus bentuk kreativitas.

"Agar dapat lebih menarik, wayang ditampilkan sesuai selera visual dan pertunjukan masa kini yang lebih bebas dan luwes dalam berkespresi namun dengan tetap menjaga semangat intinya," kata inisiator PBC, Faisal Kamandobat, melalui keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Selasa, 12 Desember 2017.

Selain wayang kontemporer, dalam PBC masyarakat juga bisa menyaksikan beragam pertunjukan seni kreatif dan workshop oleh atraksi Barongsai oleh komunitas Tionghoa Purwokerto. Ada pula pertunjukan biola solo oleh Sagaf Faozata Adzkia dan Arum Rindu Sekar Kasih

Selain itu, musikalisasi puisi oleh Alfiyan Harfi, Kedung Dharma Romansha, Badruddin Emce dan para penyair muda lainnya.

Selama berlangsungnya PBC, peserta juga dapat belajar satu sama lain, berkonsultasi dengan para ahli dan pemerintah setempat terkait persolan-persoalan yang dihadapi, sekaligus menjalin kerja sama antarkomunitas dan lembaga yang ikut serta di dalamnya.

Dengan cara itu, arus informasi, komunikasi, dan pengetahuan antarpihak dapat mengalir lebih lancar, dinamis dan menyenangkan sehingga lebih berdaya dalam melakukan proses transformasi sosial.

Kritik Pesantren Lewat Pertunjukan

Faisal menjelaskan, dalam desain pembangunan nasional, perdesaan ditempatkan sebagai pinggiran dalam hampir semua hal, politik, ekonomi, sosial dan kultural. Konsekuensinya, kawasan perkotaan menjadi pusat-pusat kemajuan (growth pole) yang terus meluas.

Sementara, wilayah perdesaan semakin berkurang dan terus mengalami pelenyapan secara sistematis, terutama dalam bidang ekonomi dan budaya. Dampak terjauhnya adalah terjadi ketidakselarasan antara orientasi budaya dan basis ekonomi masyarakat.

"Ekonomi masyarakat desa berbasis pada pertanian dan perdagangan mikro, kulturnya mengacu pada budaya di perkotaan yang berbasis pada ekonomi skala besar,"dia menerangkan.

Menurut dia, pesantren sebagai pusat keagamaan, pendidikan dan budaya masyarakat mesti mengambil sikap demi mengembangkan tatanan sosial. Dengan tatatan yang lebih seimbang, perdesaan dapat mencapai kemajuan tanpa kehilangan kearifannya.

"Dengan itu pula, perdesaan dapat lebih mandiri dan otentik sehingga mampu menjadi supporting partner bukan rival dan korban dari wilayah perkotaan," Faisal menerangkan.
Selama PBC beragam pelatihan kreatif juga bakal digelar. Meliputi pelatihan membatik oleh seniman batik dan serat Abdul Syukur, lokakarya pengobatan herbal, kemudian bimbingan menulis kreatif oleh sastrawan Raudal Tanjung Banua dan Eko Triono.

Pelatihan Membatik Hingga Menulis Kreatif

Kemudian, pelatihan menggambar oleh perupa Bambang Heras serta pelatihan tentang etika, aturan hukum dan keamanan dalam menggunakan internet oleh George Bratadijaja dari GEN Indonesia.

Digelar pula bazar makanan tradisional dan bursa buku serta pameran seni rupa yang menampilkan karya para pelukis terkemuka dari Cilacap dan Jogjakarta seperti Samuel Indratma, Bob Sick Yudhita, Daryono Yunani, Ismanto Wahyudi, Yaksa Agus, Fatoni Makturodi, Titus Garu, Taufik Hidayat dan beberapa seniman lainnya.

Setiap pertunjukan akan diserahkan Anugerah Punokawan Award untuk para santri yang memenangkan lomba menulis puisi, prosa, esei dan melukis. Para pemenang akan menerima medali Golden Semar, Silver Gareng, Bronze Petruk serta Metal Bagong.

Peserta pelatihan terdiri dari warga desa, para santri dari beberapa pondok pesantren, perwakilan sekolah dan antar iman, serta para mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Karesidenan Banyumas.


Selain untuk mengembangkan perdesaan, PBC diselengggarakan sebagai bagian dari peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan haul para pendiri Pondok Pesantren Cigaru, KH Tsufyan Tsauri.

Tuesday, 6 February 2018

Pengertian Kitab Kuning, Memaknai Kitab Kuning Secara Lengkap

Kitab Kuning, disebut kitab kuning karena kertas buku yang berwarna kuning yang pada asal muasalnya dibawa dari Timur Tengah pada awal abad kedua puluh dan ditulis dengan huruf arab atau di Indonesia ditulis ulang dengan huruf Arab versi Melayu atau sesuai dengan daerah setempat. Misalnya : versi Jawa; ditulis dengan huruf Arab tetapi dengan bahasa Jawa. Versi Sunda, versi Melayu dll.

Karena warna kertasnya berwarna kuning, akhirnya untuk memudahkan penyebutan kitab tersebut, maka dikatakan “Kitab Kuning”, yaitu hakikat sebenarnya suatu kitab atau buku yang kertasnya berwarna kuning. Buku atau kitab ini umumnya diajarkan di Pondok-pondok Pesantren Tradisional.
Buku Putih, disebut buku putih karena kertas buku yang berwarna putih, dan ditulis pada umumnya menggunakan huruf Latin. Bisa jadi hasil dari terjemahan kitab kuning tadi. Bisa juga berupa buku yang ditulis bersumber dari berbagai referensi (maraji’) dengan berbahasa Indonesia sehingga menjadi lebih mudah dimengerti dan dipahami bagi kalangan pembaca yang tidak mengerti bahasa Arab atau tidak bisa membaca tulisan yang menggunakan huruf Arab, baik versi Arab asli atau Arab Melayu dan lain-lain.

Namun perlu diperhatikan ! walaupun merupakan terjemahan, akan tetapi sesuai dengan maksud teks buku aslinya. Sumber pengambilan (referensi/maraji’) jelas, dan dapat dilacak sesuai teks buku aslinya bagi yang mengerti bahasa Arab. Buku ini juga memuat huruf Arab, terutama ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits-hadits, hanya saja dengan terjemahan huruf Latin.

Ummat Islam Indonesia menggunakan kata yang berbeda untuk menyebut buku-buku yang ditulis dengan huruf Latin dan huruf Arab. Untuk buku-buku yang berhuruf Latin, mereka menyebutnya “Buku”, sedangkan yang behuruf Arab, mereka menyebutnya “Kitab”.

Format Kitab Kuning yang paling umum dipakai lebih sedikit kecil dari kertas kuarto (ukuran 26 cm) dan tidak dijilid, tetapi ada juga yang dijilid. Lembaran-lembaran (koras-koras) yang tak terjilid tadi dibungkus kulit sampul, sehingga para santri dapat membawa hanya satu halaman yang kebetulan sedang dipelajari saja. Umumnya huruf arab ditulis atau dicetak tanpa mengunakan harakat (tanda baca), atau dikenal dengan istilah “Arab Gundul” atau “Pegon”.

Sebenarnya tidak berbeda seandainya kitab tadi dicetak dengan memakai kertas berwarna putih, hanya saja sebagian penerbit sengaja mencetak kitab-kitab tersebut di atas kertas berwarna kuning, karena tampaknya kitab berwarna kuning ini juga menjadi kelihatan lebih klasik di pikiran para pemakainya atau pembacanya. Bahkan harga kitab kuning cetakan versi Beirut misalnya, relatif agak mahal harganya daripada cetakan versi Indonesia. Walaupun isi tidak ada perbedaan sama sekali.
Dibawah ini, contoh sebagian Judul-judul kitab kuning atau dianggap Kitab Kuning yang beredar di Indonesia:

Bidang Fiqh:
Fathul Mu’in, Ianah Thalibin, Taqrib, Fath Al Qarib al Mujib, Kifayatul Akhyar, Bajuri, Iqna’, Minhaj At Thalibin, Minhaj at Thullab, Fathul Wahab, Mahalli, Minhajul Qawwim, Safinah, Kasyifat Al Saja, Sullam al Taufiq, Tahrir, Riyadh al Badiyah, Sullam Munajat, Uqud al Lujain, Sittin/Syarah Sittin, Muhazzab, Bughyat al Mutarasyidin, Mabadi Fiqhiyah, Fiqh Wadih, Sabilal Muhtadin.

Bidang Ushul Fiqh :
Waraqat/Syarah al Waraqat, Lathaif al Isyarat, Jam’ul Jawami’, Luma’, Al Asybah wa al Nadhir, Bayan, Bidayah al Mujtahid,

Bidang Aqidah :
Ummul Barahin, Sanusi, Dasuqi, Syarqawi, Kifayatul Awam, Tijanud Daruri, Aqidatul Awam, Nuruzh Zhulam, Jauharut Tauhid, Tuhfatul Murid, Fathul Majid, Jawahirul Kalamiyah, Husnul Hamidiyah, Aqidatul Islamiyah.

Bidang Tata Bahasa Arab, Tajwid dan Logika :
1. Ilmu Sharf : Kailani/Syarah Kailani, Maqshud/Syarah Maqshud, Amtsilatut Tashrifiyyah, Bina’.
2. Ilmu Nahwu : Jurumiyah/Syarah Jurumiyah, Imrithi/Syarah Imrithi, Mutammimah, Asmawi, Alfiyah, Ibnu Aqil, Dahlan Alfiyah, Qatrun Nada, Awamil, Qawaidul ‘Irab, Nahwu Wadhih, Qawaidul Lughat.
3. Balagah : Jauharul Maknum, Hidayatus Shiban.
4. Mantiq : Sullamul Munauraq, Idhahul Mubham.

Bidang Tafsir Al Qur’an :
Tafsir Jalalain, Tafsirul Munir, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Baidhawi, Jamiul Bayan (Tafsir Thabari), Tafsir Maraghi, Tafsirul Manar.
Ilmu Tafsir : Itqan, Itmamud Dirayah

Bidang Hadits :
Bulugul Maram, Subulus salam, Riyadhus Shalihin, Shahih Bukhari, Tajridush Sharih, Jawahir Bukhari, Shahih Muslim/Syarah shahih Muslim, Arbain Nawawi, Majalisus Saniyah, Durratun Nasihin, Tanqihul Qaul, Mukhtarul Ahadits, Ushfuriyah, Baiquniyah, Minhatul Mugits.

Bidang Akhlaq dan Tasawwuf :
Ta’limul Muta’alim, Wasaya, Akhlaq lil Banat, Akhlaq lil Banin, Irsyadul Ibad, Ihya Ulumuddin, Sairus Salikin, Bidayatul Hidayah, Maraqil Ubudiyah, Hidayatus Salikin, Minhajul Abidin, Sirajut Thalibin, Al Hikam, Hidayatul Adzkiya, Kifayatul Atqiya, Risalatul Muawanah, Nashaihud Diniyah, al Azkar.

Sirah Nabawiyah :
Khulashah Nurul Yaqin, Barzanji, Dardir.

SEKILAS TENTANG KITAB KUNING
Kitab kuning adalah istilah yang disematkan pada kitab-kitab berbahasa Arab, yang biasa digunakan di banyak pesantren sebagai bahan pelajaran. Dinamakan kitab kuning karena kertasnya berwarna kuning.

Sebenarnya warna kuning itu hanya kebetulan saja, lantaran dahulu barangkali belum ada jenis kertas seperti zaman sekarang yang putih warnanya. Mungkin di masa lalu yang tersedia memang itu saja. Juga dicetak dengan alat cetak sederhana, dengan tata letak lay-out yang monoton, kaku dan cenderung kurang nyaman dibaca. Bahkan kitab-kitab itu seringkali tidak dijilid, melainkan hanya dilipat saja dan diberi cover dengan kertas yang lebih tebal.
Namun untuk masanya, kitab kuning itu sudah sangat bagus, ketimbang tulisan tangan dari naskah aslinya.

Sampai hari ini sebenarnya kitab kuning masih ada dijual di toko-toko kitab tertentu. Sebab pangsa pasarnya pun masih ada, meski sudah jauh berkurang dengan masa lalu. Yang menarik, harganya pun sangat bersaing. Bayangkan, kitab-kitab itu hanya dijual dengan harga Rp 5.000-an saja hingga Rp 10.000, tergantung ketebalannya. Padahal isinya tidak kurang ilmiyah dan bagus dari buku-buku mahal yang berharga jutaan. Kalau dibandingkan dengan cetakan modern, uang segitu hanya bisa buat beli buku saku tipis sekali.

Adapun dari sisi materi yang termuat di dalam kitab kuning itu, sebenarnya sangat beragam. Mulai dari masalah aqidah, tata bahasa Arab, ilmu tafsir, ilmu hadits, imu ushul fiqih, ilmu fiqih, ilmu sastra bahkan sampai cerita dan hikayat yang tercampur dengan dongeng. Keragaman materi kitab kuning sesungguhnya sama dengan keragaman buku-buku terbitan modern sekarang ini.

Secara umum, keberadaan kitab-kitab ini sesungguhnya merupakan hasil karya ilmiyah para ulama di masa lalu. Salah satunya adalah kitab fiqih, yang merupakan hasil kodifikasi dan istimbath hukum yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Para santri dan pelajar yang ingin mendalami ilmu fiqih, tentu perlu merujuk kepada literatur yang mengupas ilmu fiqih. Dan kitab kuning itu, sebagiannya, berbicara tentang ilmu fiqih.

Sedangkan ilmu fiqih adalah ilmu yang sangat vital untuk mengambil kesimpulan hukum dari dua sumber asli ajaran Islam. Boleh dibilang bahwa tanpa ilmu fiqih, maka manfaat Al-Quran dan As-Sunnah menjadi hilang. Sebab manusia bisa dengan seenaknya membuat hukum dan agama sendiri, lalu mengklaim suatu ayat atau hadits sebagai landasannya.

Padahal terhadap Al-Quran dan Al-Hadits itu, kita tidak boleh asal kutip seenaknya. Harus ada kaidah-kaidah tertentu yang dijadikan pedoman. Kalau semua orang bisa seenaknya mengutip ayat Quran dan hadits, lalu kesimpulan hukumnya bisa ditarik kesana kemari seperti karet yang melar, maka bubarlah agama ini. Paham sesat seperti liberalisme, sekulerisme, kapitalisme, komunisme, bahkan atheisme sekalipun, bisa dengan seenak dengkulnya mengutip ayat dan hadits.
Maka ilmu fiqih adalah benteng yang melindungi kedua sumber ajaran Islam itu dari pemalsuan dan penyelewengan makna dan kesimpulan hukum yang dilakukan oleh orang-orang jahat. Untuk itu setiap muslim wajib hukumnya belajar ilmu fiqih, agar tidak jatuh ke jurang yang menganga dan gelap serta menyesatkan.

Salah satu media untuk mempelajari ilmu fiqih adalah dengan kitab kuning. Sehingga tidak benar kalau dikatakan bahwa kitab kuning itu menyaingi kedudukan Al-Quran. Tuduhan serendah itu hanya datang dari mereka yang kurang memahami duduk masalahnya.
Namun bukan sebuah jaminan bahwa semua kitab kuning itu berisi ilmu-ilmu syariah yang benar. Terkadang dalam satu dua kasus, kita menemukan juga buku-buku yang kurang baik yang ditulis dengan format kitab kuning.

Misalnya buku tentang mujarrobat, atau buku tentang ramalan, atau tentang doa-doa amalan yang tidak bersumber dari sunnah yang shahih, atau cerita-cerita bohong yang bersumber dari kisah-kisah bani Israil , juga ditulis dalam format kitab kuning.


Jenis kitab kuning yang seperti ini tentu tidak bisa dikatakan sebagai bagian dari ilmu-ilmu keIslaman yang benar. Dan kita harus cerdas membedakan materi yang tertuang di dalam media yang sekilas mungkin sama-sama sebagai kitab kuning. Dan pada hakikatnya, kitab kuning itu hanyalah sebuah jenis pencetakan buku, bukan sebuah kepastian berisi ilmu-ilmu agama yang shahih. Sehingga kita tidak bisa menggeneralisir penilaian kita tentang kitab kuning itu, kecuail setelah kita bedah isi kandungan materi yang tertulis di dalamnya.

Pengertian Syariat, Ilmu Fikih Dalam Agama Islam

1. Syariat
Secara etimologis, kata syariat, (dalam bahasa Arab, aslinya, syarî’ah/ شريعة) berasal dari kata syara’a ( شرع) yang berarti jalan ke tempat keluarnya air untuk minum atau tempat lalu air di sungai. Dalam perkembangannya, kata syari’ah digunakan orang Arab untuk konotasi jalan lurus ( الطريقة المستقيمة ).
Dalam al-Qur`an kata syara`a, dalam berbagai bentuknya diungkapkan sebanyak lima kali, yaitu surat al-Maidah/ 5: 48, al-A`raf/ 7: 163; al-Syûra/ 42: 13 dan 21, dan dalam surat al-Jâtsiyah/ 45: 18. Kata syariat pada ayat-ayat tersebut mengandung arti jalan yang lurus dan jelas menuju kebahagiaan hidup. Pengertian ini menurut para ahli, identik dengan pengertian agama (al-din/ الدّين ). Karena hanya agamalah yang dapat membimbing manusia kepada kebenaran hakiki untuk memperoleh kemenangan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Firman Allah dalam surat al-Jâtsiyah ayat 18.
ثمّ جعلناك على شريعة من الأمر فاتّبعها
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu.

Dalam surat al- Syûra ayat 13 ditegaskan:
شرع لكم من الّذين ما وصّى به نوحا والّذي أوصينا إليك ما وصّينا به إبراهيم وموسى وعيسى أن أقيموا الدّين ولا تفرّقوا فيه
Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu; tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.
Kata syariat dalam ayat di atas, tampaknya, identik dengan agama, yang mengandung arti mengesakan Allah, mematuhi dan mengimani utusan-Nya, kitab-kitab-Nya, hari pembalasan, dan mentaati segala sesuatu (perintah dan, atau larangan Allah) yang membawa seseorang menjadi muslim dalam arti sesungguhnya.
Apabila dicermati arti syariat secara bahasa di atas, tampaknya terdapat keterkaitan kandungan makna antara syari’at dengan air, seperti dijelaskan Amir Syarifuddin, bahwa orang yang mematuhi syariat, ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan lahiriah (fisik) sebagaimana Dia menjadikan syariat sebagai penyebab kehidupan jiwa (batiniah) manusia.
Menurut istilah, Mannâ’ al-Qatthân mengemukakan, bahwa syariat adalah:
ما شرع الله لعباده من العقائد والعبادات والأخلاق والمعاملات
Segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-Nya baik menyangkut akidah, ibadah, akhlak maupun mu`amalah.
Defenisi di atas, tampaknya masih mengacu pada pengertian agama (al-dîn), dimana aspek-aspek pokok ajaran agama (Islam) dimasukkan ke dalam cakupan syariat.
Muhammad ‘Alî al-Sâyis. Berdasarkan kesimpulannya terhadap pendapat para ulama, mengatakan bahwa syari’at adalah:
الأحكام الّتي سنّها الله لعباده ليكونوا مؤمنين عاملين على ما يسعدهم فى الدّنيا والآخرة
Hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah agar manusia beriman dan beramal saleh, yang dapat membuat mereka bahagia di dunia dan di akhirat.
Menurut al-Sâyis, pengertian syari’at seperti ini mengandung tiga dimensi; salah satunya adalah dimensi hukum, yaitu meliputi tindakan-tindakan manusia, seperti ibadah, mu`amalah, hukuman dan lain sebagainya yang termasuk ke dalam kajian fikih. Pengertian inipun masih berorientasi pada pengertian agama.
Sementara, menurut Mahmûd Syaltût, syariat adalah:
هي النّظم الّتى شرعها الله أصولها ليأخذ الإنسان بها نفسه بعلاقاته بربّه وعلاقاته بأخيه المسلم وعلاقاته بأخيه الإنسان وعلاقاته بالكون وعلاقاته بالحياة
Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah atau hasil penalaran atas dasar ketentuan tersebut, untuk dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan umat manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan umat manusia; sesama muslim atau non muslim, maupun dengan alam sekitarnya.
Pengertian yang dikemukakan Syaltût ini dengan jelas telah memisahkan antara agama dengan syariat. Menurutnya, agama (Islam) terdiri dari dua ajaran pokok, yaitu akidah dan syariat, dimana syariah lebih dikhususkan pada persoalan amaliah. Lebih lanjut, masih menurut Syaltût, aspek akidah merupakan pondasi tempat tumbuh dan berkembangnya syariah. Sedangkan syariah adalah sesuatu yang harus tumbuh dari akidah itu.
Defenisi di atas juga menunjukkan, bahwa syariat --sebagai ketentuan yang mengatur persoalan-persoalan amaliah-- terdiri dari dua kategori; pertama, ketentuan-ketentuan hukum yang secara langsung ditetapkan oleh Syâri’ (Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur`an dan Sunnah). Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat abadi dan tidak berubah, karena tidak ada yang punya wewenang merubahnya kecuali Allah.
Kedua, ketentuan-ketentuan hukum hasil kajian para ulama mujtahid yang merujuk pada al-Qur`an dan Sunnah dengan menggunakan metode-metode istinbâth hukum seperti kias, mashlahah al-mursalah, istihsan, sadd al-dzarî’ah ataupun metode ijtihad lainnya. Ketentuan-ketentuan hukum kategori kedua ini tidak memiliki sifat keabadian dan bisa berubah-ubah dan amat dipengaruhi oleh keilmuan mujtahid yang bersangkutan serta lingkungan dan dinamika kultur masyarakat.


2. Fikih
Secara lughawi (semantis), kata fikih berasal dari bahasa Arab, fiqh/ فقـه bermakna mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik.
Di beberapa tempat, al-Qur`an menggunakan kata”faqiha/ فقـه ” dalam berbagai bentuknya untuk pengertian yang umum, yaitu pemahaman. Himbauan al-Qur`an "ليتفقّهوا فى الدّين" (untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama) menunjukkan bahwa fikih tidak menegaskan suatu pengertian eksklusif tentang hukum, melainkan suatu pemahaman yang mendalam tentang agama (Islam) secara umum. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa awal Islam, istilah fikih belum memiliki arti khusus. Kendati demikian, terminologi fikih mulai mengarah pada kedalaman intensitas keyakinan, tauhid, hukum-hukum dan ajaran Islam lainnya. Keadaan seperti ini menurut kesimpulan Ahmad Hasan, berjalan sampai pada abad kedua Hijriah, dimana terminologi fikih mencakup persoalan-persoalan teologis, akhlak dan hukum. Sebuah buku yang terkenal, al-Fiqh al-Akbar, yang dinisbahkan pada Abu Hanifah (w. 150 H.), menurut Hasan, adalah bukti nyata di mana Abu Hanifah memasukkan persoalan-persoalan akidah, hukum dan akhlak sebagai bagian yang dicakup oleh terminologi fikih.
Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya, muatan terminologi fikih tidak lagi bersifat umum, melainkan khusus pada hukum-hukum syari’ah yang berkaitan dengan perbuatan manusia.
Secara istilah defenisi fikih yang dikemukakan oleh para ulama fikih (fuqahâ`) berkisar:
االعلم بالأحكام الشّرعيّة العمليّة المكتسب من أدلّتها التّفصيليّة
Ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah yang ditemukan dari dalil-dalilnya yang rinci.
Berdasarkan defenisi di atas, paling tidak ada empat hal yang membedakan istilah fikih, sebagai salah satu disiplin ilmu keislaman, dengan selainnya, yaitu:
Pertama, fikih adalah suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, sudah jelas, fikih memiliki tema pokok dengan kaidah-kaidah serta prinsip-prinsip khusus. Karenanya, dalam mengkaji fikih para mujtahid menggunakan metode-metode atau pendekatan tertentu, seperti kias, istihsan, mashâlih al-mursalah, sadd al-dzarî`ah, atau metode ijtihad lainnya.
Kedua, fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat. Penggunaan kata " بالأحكام الشرعيّة "(tentang hukum-hukum syariat) menunjukkan bahwa kajian dan ruang lingkup fikih menyangkut ketentuan-ketentuan yang bersifat syar`i dan tidak mencakup persoalan-persoalan yang di luar hukum syarak, seperti hukum-hukum akal. Contoh, satu adalah separoh dari dua, tidak termasuk ke dalam pengertian fikih menurut istilah.

Ketiga, fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah.
Kata amaliah menunjukkan bahwa hukum-hukum fikih selalu berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu`amalah. Dengan demikian, hukum-hukum non amaliah, seperti masalah-masalah yang berkaitan dengan dasar-dasar iman (i`tiqâdiyyah) serta cabang-cabangnya, tidak termasuk ke dalam kajian fikih.
Keempat, fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah yang ditemulkan dari dalil-dalilnya yang tafshîlî.

Artinya, hukum-hukum fikih diambil atau digali dari sumbernya yaitu nash al-Qur`an atau hadis melalui proses istidlâl (pencarian hukum dengan dalil), atau istinbâth (deduksi atau penyimpulan), atau analisis (nazhar). Pengetahuan tentang kewajiban shalat lima waktu, salah satu contoh, tidak termasuk ke dalam pengertian fikih, karena hal ini secara langsung (tekstual) dapat ditemukan di dalam nash.

Adapun kata tafshili, maksudnya adalah satuan-satuan dalil yang masing-masing menunjukkan kepada suatu hukum dari suatu perbuatan tertentu, apakah haram, wajib, makruh, dan, atau kategori hukum lainnya.

Dari definisi fikih dan penjelasannya di atas dapat dipahami, bahwa fikih --yang menurut Amir Syarifuddin adalah dugaan kuat yang dicapai oleh seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah-- berbeda dengan syariat. Perbedaan itu dapat dilihat, antara lain dari segi di mana syariat itu bersifat tetap dan --kebenaran serta keadilannya-- pasti karena berasal dari kehendak Allah (sebagai Syâri’ atau Pembuat syariat). Seperti ditegaskan Abu Zahrah, hanya Allah yang berhak menetapkan hukum syarak. Sementara fikih, tidak bersifat tetap. Fikih bisa saja diubah dan dirombak sesuai dengan perbedaan tempat, perubahan waktu, serta lingkungan dan dinamika kultur masyarakat di mana fikih itu diterapkan.

Begitu juga kebenaran dan keadilan fikih tidak bersifat pasti, melainkan nisbi (relatif). Sifat fikih yang demikian disebabkan fikih adalah interpretasi terhadap hukum syarak. Satu hal lagi, dan tidak bisa diingkari, berdasarkan fakta sejarah pembentukan fikih, bahwa faktor sosio kultural, politik, dan faktor-faktor lainnya ikut mempengaruhi bagaimana bentuk atau corak suatu fikih.
Meskipun demikian, syariat bukan fikih, akan tetapi keduanya memiliki hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Karena, syariat adalah asal, pokok, sari atau inti, ajaran yang ideal serta berlaku secara universal. Sementara fikih, adalah cabang (furû), atau perwujudan dan syariat. Dalam kedudukannya sebagai cabang atau perwujudan dari syariat, fikih harus responsif terhadap persoalan-persoalan di sekitarnya. 

Dalam kaitan ini, Muhammad ‘Alî al-Sâyis mengatakan bahwa formulasi fikih tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh yang bersifat kultural, dan karenanya, masa berlakunya bersifat temporal sesuai dengan kebutuhan ruang dan zaman tertentu. Konsekuensinya, seperti diutarakan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, perubahan dan perbedaan fatwa atau opini hukum dapat terjadi karena perbedaam waktu, tempat, situasi, tujuan, niat dan adat istiadat. Hal di atas adalah suatu keniscayaan sehingga fikih, sebagai perwujudan syariat memiliki adaptabilitas dengan dinamika kehidupan sosial yang setiap saat terus berubah dan berkembang. Di sinilah letak pentingnya arti fikih bagi syariat. Syariat, sebagai ajaran yang diyakini, selalu up to date (cocok sepanjang zaman), hanya bisa dibuktikan melalui fikih. Konsep-konsep syariat yang ideal --dan untuk kategori hukum yang berhubungan dengan kategori kemasyarakatan umumnya bersifat global-- harus diterjemahkan dalam tataran praktis, wujud nyata atau dibumikan --meminjam istilah Quraish Shihab-- dalam realitas sosial, lagi-lagi melalui fikih.
Dengan demikian, pengembangan syariat sangat tergantung pada fungsi dan pola fikih. Dan, pengamalan hukum-hukum fikih adalah bagian dari pengalaman syariat juga. Dengan ungkapan lain, fikih adalah bagian dari syariat, tetapi bukan syariat itu sendiri.

3. Hukum Islam
Kata hukum dan Islam, keduanya berasal dari bahasa Arab dan digunakan dalam al-Qur`an di beberapa tempat. Akan tetapi, al-Qur`an tidak pernah menggunakan kedua kata ini secara bergandengan. Begitu juga dalam literatur hukum Islam klasik, sejauh yang penulis ketahui tidak pernah menggunakan kata hukum Islam. Ungkapan yang digunakan – yang mengandung konotasi hukum-- biasanya adalah kata syarî’ah al-Islâm, hukum syara’, syarî’ah atau syara’, dan, atau fikih.
Para pakar hukum Islam menduga, bahwa istilah hukum Islam merupakan terjemahan Indonesia dari islamic law, yang sering dijumpai dalam literatur yang berbahasa Barat.
Untuk memudahkan dalam memahami istilah hukum Islam, terlebih dahulu harus dipahami apa pengertian hukum itu sendiri. Memang, tidak mudah untuk membicarakan istilah hukum jika ingin memulainya dengan sebuah defenisi yang memuaskan. Berbagai ahli mengemukakan beragam defenisi tentang hukum sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Keragaman defenisi hukum tersebut, menurut Hart (seorang pemerhati hukum dari Universitas Oxford) sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh perbedaan cara melihat hukum itu sendiri daripada perbedan pandangan tentang apa yang dimaksud hukum. Orang yang bergerak di bidang hukum, lanjut Hart, umumnya mengetahui hukum tersebut, tetapi ia sering mendapat kesulitan untuk menerangkannya kepada orang lain dalam bentuk sebuah defenisi yang tegas.
Secara leksikal, kata hukum --seperti disebutkan di atas-- berasal dari bahasa Arab, yaitu hukm ( حكم ), jamaknya ahkâm ( أحكام ) yang berarti, antara lain menolak. Dari sinilah terbentuk kata al-hukm ( الحكم ) yang, antara lain, berarti menolak kezaliman atau penganiayaan.
Dalam bahasa Indonesia, kata hukum juga mengandung beberapa pengertian. Di antaranya, yang penting disebutkan di sini adalah:
(1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau otoritas; (2) undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis, dan sebagainya.
Adapun menurut istilah, sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, para ahli memberikan defenisi yang beragam tentang hukum. Dari sejumlah defenisi tersebut, menurut Hazairin, sebagaimana telah disinggung, dapat dikelompokkan kepada dua pandangan. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa hukum hanyalah suatu segi dari penjelmaan hidup kemasyarakatan. Yakni, serangkaian perhubungan tertentu yang timbul dalam, dan dari masyarakat tertentu pula. Jelasnya menurut pandangan ini, hukum adalah seperangkat peraturan hidup yang berpokok kepada hak dan kewajiban yang berlaku selama didukung oleh masyarakat itu. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa hukum bukanlah hanya suatu segi dari penjelmaan hidup masyarakat saja. Dengan kata lain, tidak hanya sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan ada kaitannya –yang sangat erat—dengan Tuhan. Bahkan melihat tuhan sebagai sumber hukum yang utama. Yang disebut pertama, oleh Hazairin, dinamakan dengan paham kemasyarakatan, dan, yang kedua, dinamakannya dengan paham ketuhanan.

Defenisi hukum yang dikemukakan Muhammad Muslehuddin (cendikiawan muslim lulusan Fakultas Hukum Universitas London), agaknya mendekati kedua paham (pandangan) di atas, yaitu: kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, di mana suatu negara atau masyarakat tertentu menerima aturan-aturan tersebut.
Apabila dihubungkan defenisi Muslehuddin ini dengan pengertian hukum secara bahasa di atas, maka dapat dirumuskan bahwa hukum pada hakekatnya merupakan kaedah atau pegangan bagi manusia yang digunakan sebagai pembatas sikap, prilaku dalam melangsungkan hubungan dan kegiatan dengan sesama manusia lainnya dalam pergaulan hidup masyarakat. Jika seseorang telah mematuhi hukum yang berlaku, atau berbuat sesuai dengan hukum, maka orang tersebut akan menolak berbuat zalim atau aniaya, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap sesama manusia, maupun terhadap sesama makhluk.

Bila hukum itu dihubungkan dengan hukum Islam atau hukum syara’, maka akan terbayang bahwa hukum Islam adalah hukum yang sesuai dengan --atau berdasarkan-- kehendak Allah. (Itulah sebabnya mengapa seorang mukalaf yang bertindak menurut hukum (Islam) dalam segala macam situasi dan kegiatan dianggap memenuhi kehendak Allah). Akan tetapi, seperti ditegaskan Amir Syarifuddin, sebagian besar kehendak Allah itu tersimpan di balik apa yang tertulis dalam al-Qur`an dan hadis Rasul-Nya (syariat). Untuk itu, lanjut Amir, dibutuhkan pemahaman yang mendalam tentang al-Qur`an dan hadis (syariat) itu. Hasil pemahaman tersebut, yang dituangkan dalam bentuk ketentuan rinci, dinamakan fikih.

Dengan dasar pemikiran seperti di atas, maka pernyataan Hasbi Ash-Shiddieqy yang menyamakan fikih Islam dengan hukum Islam dapat diterima. Menurut Hasbi, hukum Islam adalah koleksi daya upaya fuqahâ (ahli hukum Islam) untuk menerapkan syariat sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kata ”koleksi … syariat” dalam defenisi di atas menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam --seperti, juga, ditegaskan Amir Syarifuddin-- adalah yang bernama fikih dalam literatur Islam yang berbahasa Arab. Cuma saja, dalam penggunaan kata-kata hukum Islam --dikalangan umat Islam Indonesia-- sering menimbulkan kebingungan. Istilah hukum Islam, seperti halnya fikih, sering diidentikkan dengan syariat dalam arti sempit. Padahal, seperti telah dijelaskan, fikih atau hukum Islam memiliki perbedaan yang cukup mendasar dengan syariat dalam pengertian teknis.

Sedangkan kata ”sesuai kebutuhan masyarakat” menunjukkan bahwa hukum Islam itu harus dinamis, disamping harus memiliki daya adaptabilitas dengan realitas kehidupan masyarakat. Artinya, ruang dan waktu serta kondisi-kondisi tertentu akan mempengaruhi corak hukum Islam, dimana koleksi daya upaya fuqahâ` (fikih-fikih klasik), seperti disinggung Hasbi dalam defenisi di atas, --untuk bab-bab tertentu-- tidak harus dilaksanakan secara kaku atau tekstual, melainkan harus melalui transformasi. Hukum Islam dalam konteks ini adalah hukum Islam (fikih) lokal.

Dengan demikian, hukum Islam yang berlaku pada suatu negara nasional bisa saja berbeda dengan hukum Islam yang berlaku di negara nasional lain seperti perbedaan suatu mazhab dengan mazhab lain dalam pengertian fikih tradisional.


Sungguhpun begitu, hukum Islam dalam berbagai negara nasional tetap berasal dari sumber yang sama, yaitu syariat sebagai hukum Ilahi yang bertujuan menjaga lima hal seperti tersimpul dalam maqâshid al-syarî’ah (tujuan hukum disyariatkan).

Monday, 5 February 2018

Berbagai Macam Puasa Dalam Islam

Ada 2 jenis puasa wajib selain dari puasa Ramadhan, yakni puasa Kifarat atau puasa sebagai denda karena pelanggaran dan puasa Nadzar sebagai pemenuhan janji. Untuk kifarat, bagi orang yang tidak mampu karena alasan tertentu, ada alternatif lain selain daripada berpuasa, untuk ganti pembayar dendanya. Kifarat(denda) adalah sesuatu yang dapat menghapuskan dosa. Yaitu denda yang dapat diakibatkan pelanggaran syariat Islam. Maka apabila ada orang yang melanggar syariat diakibatkan kumpul atau hubungan suami istri di bulan Ramadhan di siang hari atau sengaja makan minum siang hari di bulan Ramadhan. Maka wajiblah ia membayar kifarat(denda) atas perbuatannya.


Syarat Wajib Kafarat Atas Pelanggaran Sumpah yaitu:
1. Sengaja mengucapkan sumpah.
2. Sumpah diucapkan atas perkara yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
3. Ingat. Seseorang yang bersumpah atau melanggar sumpah karena lupa maka tidak ada kaffarat  baginya.
4. Diucapkan dengan lisan. Sumpah yang hanya didalam hati tidak dikenai sanksi.
5. Terjadi pelanggaran atas sumpah.
6. Diucapkan atas pilihannya sendiri. Seseorang yang dipaksa mengucapkan sumpah tidak dikenakan tebusan atau denda.
1. Puasa Kifarat
Puasa kifarat (kafarat) diberlakukan atas pelanggaran yang dilakukan seorang Muslim atas hukum Allah yang sudah berketetapan. Karena perbuatan yang ia lakukan tersebut Allah masih memberikan maaf, di samping bertobat ia harus melakukan atau membayar kafarat tersebut agar tobatnya diterima. Adapun pelanggaran yang dilakukan seseorang sehingga ia harus membayar kafarat adalah:

1. Hubungan badan di siang hari Ramadhan. Melakukan hubungan badan pada siang hari di bulan Ramadhan adalah pelanggaran yang sangat berat hukumannya. Maka, seseorang yang melanggar hal itu harus:
Berpuasa selama 60 hari berturut-turut tanpa terpisah sama sekali kecuali ada udzur syar’I,
Apabila tidak mampu maka harus memberi makan kepada 60 orang miskin.Kifarat wajib dilakukan berkali-kali bila pelanggaran yang menyebabkannya berkali-kali dilakukan pada hari-hari yang berbeda. Sedang kalau dilakukan pada  hari yang sama, maka kifaratnya cukup satu kali saja. Kemudian apabila seseorang melakukan pelanggaran yang mewajibkannya berkifarat dan langsung dia kifarati, tetapi pada hari itu juga dia melakukan lagi perbuatan yang sama, maka cukuplah baginya satu kifarat yang telah dia lakukan tadi, sekalipun dia menanggung dosa besar tentunya. Dan Allah jualah Yang Lebih Tahu.

2. Membunuh seorang muslim tanpa disengaja. Kesalahan tersebut mewajibkan pelaksanaan salah satu dari dua denda, yaitu diyat atau kifarat. Kifarat untuk itu ada dua macam yaitu:
Memerdekan hamba beriman yang tidak ada cela pada dirinya yang menghambat kerja atau usaha.
Puasa 2 (dua) bulan berturut--turut.
Ulama Syafi’iyah menambahkan bahwa jika seseorang karena tua atau sangat lemah tidak kuat berpuasa, maka ia dapat menggantikannya dengan memberi makanan untuk 60 orang miskin masing-masing 1 mud (+ 1 liter).

3. Seorang suami melakukan zhihar. Karena ucapan zhihar itu suami tersebut bergaul dengan istrinya. Kemudian ia bermaksud menarik kembali ucapan zhiharnya itu karena keinginannya untuk bergaul seperti sebelum terjadinya zhihar.
Wajib membayar kifarat, ialah memerdekakan seorang hamba atau jika ia tidak mampu.
Berpuasa 2 bulan berturut-turut. Jika ia tidak kuat berpuasa, maka ia terkena hukum wajib memberi makanan untuk orang-orang miskin sebanyak 60 orang masing-masing 1 mud.

4.Bersumpah lantas dengan sengaja ia melanggar sumpahnya
Pelanggaran tersebut menyebabkannya terkena kifarat sumpah, yaitu:
Wajib memerdekakan seorang hamba atau jika ia tidak mampu,
Wajib memberi makan/pakaian 1 orang miskin atau jika itupun ia tidak mampu,
Wajib berpuasa 3 hari

5. Seorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan, baik yang halal maupun yang haram. Kifaratnya adalah:
Menggantinya dengan hewan ternak yang seimbang dengan binatang buruan yg dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil dan disembelih sebagai hadya (kurban) di tanah haram serta dagingnya diberikan kepada fakir miskin, atau jika tidak mampu,
Memberi makanan kepada fakir miskin yang banyaknya sedemikian rupa sehingga seimbang dengan hadya (hewan pengganti) tersebut, atau
Berpuasa sejumlah hari yang seimbang dengan makanan yang seharusnya ia keluarkan (jumlah hari puasa itu adalah sebanyak mud yang diberikan kepada fakir dan miskin. Mud tersebut dibanding seimbangkan dengan hewan yang disembelih tadi).

2. Puasa Nadzar
Bernadzar artinya berjanji akan berpuasa, apabila misalnya sembuh dari sakit atau jika diperkenankan sesuatu maksud yang baik (yang bukan maksiat) dalam rangka mensyukuri nikmat atau untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka wajiblah atasnya untuk melaksanakannya. Puasa nadzar pada dasarnya utang, bahkan lebih tegas lagi karena biasanya dikaitkan dengan sesuatu. Oleh karena itu, seorang yang bernadzar wajib melaksanakan puasa nadzar tersebut sebab ia sendiri yang membuatnya wajib. Dengan mengatakan, misalnya, “Jika saya sembuh nanti, maka saya akan puasa selama lima hari berturut-turut,” maka setelah sembuh puasa lima hari berturut-turut tersebut wajib baginya untuk dilaksanakan.
“Barang siapa bernadzar akan mentaati Allah maka hendaklah ia menaati-Nya dan barangsiapa bernadzar akan mendurhakai Allah, maka janganlah ia mendurhakai-Nya.” (HR Abu Dawud).
  
3. Disyariatkannya Menunaikan Nadzar
Disyariatkannya nadzar bisa dilihat dari dalil-dalil yang ada didalam Al Qur’an maupun sunnah :
وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
Artinya :“Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al Hajj : 29).
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا
Artinya :“Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al Insan : 7).
وَمَا أَنفَقْتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُم مِّن نَّذْرٍ فَإِنَّ اللّهَ يَعْلَمُهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
Artinya :“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolongpun baginya.” (QS. Al Baqarah : 270).

Dengan demikian, kita harus berhati-hati dalam bernadzar. Janganlah kita mengucapkan nadzar akan melakukan sesuatu termasuk puasa, jika kita tidak sanggup melaksanakannya. Jangan hanya karena kesulitan yang menerpa kita kemudian bernadzar akan,, misalnya, berpuasa dua bulan berturut-turut karena itu akan memberatkan diri sendiri. Padahal, Allah sendiri tidak memintanya. Nadzar sangat baik dilaksanakan sebagai rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah kepada kita, terutama setelah hilangnya kesulitan dalam diri atau keluarga, asal nadzar tersebut masuk akal dalam pelaksanaannya dan tidak memberatkan diri.

Jika seseorang memiliki nadzar kemudian meninggal tanpa sempat menunaikan nadzarnya, maka puasa nadzar itu diwariskan atau ditanggung oleh wali atau pewarisnya untuk disempurnakan
Sa’ad bin Ubadah r.a berkata: “Dia bertanya kepada Rasulullah, Ibuku meninggal dunia dan dia memiliki nadzar yang belum terpenuhi.” Rasulullah bersabda : “Qadhakanlah puasanya untuk ibumu.” (HR Bukhari, Muslim, Al-Nassai’, Tirmidzi dan Ahmad).

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ امْرَاَةً قَالَتْ: يَارَسُولَ اللهِ اَنَّ اُمِّي مَاتَتْ وَ عَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ اَفَاَصُوْمُ عَنْهَا ؟ قَالَ: اَرَاَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى اُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتُهُ اَكَانَ يُؤَدِّى ذَلِكَ عَنْهَا ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ فَصُوْمِى عَنْ اُمِّكِ

Dari Ibnu Abbas r.a: sesungguhnya ada seorang perempuan telah bertanya kepada Rasulullah s.a.w: “ya Rasulullah s.a.w, sesungguhnya ibuku telah meninggal duniam dan ia meninggalkan keajiban puasa nadzar yang belum sempat ia tunaikan, apakah aku boleh berpuasa untuk menggantikannya?” rasulullah s.a.w, menjawab;”apakah pendapatmu, kalau seandainya ibumu mempunya hutang, dan kamu membayarnya. Apakah hutangnya terbayarkan?”. Perempuan tadi, menjawab: “ia”. Dan Nabi s.a.w, bersabda: “berpuasalah untuk ibumu”. (Hadits Shahih, riwayat Muslim).
Semoga bermanfaat.

                      ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ                              

“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”

Sunday, 4 February 2018

PERSEBARAN ISLAM DI INDONESIA

Penyebaran Islam di Nusantara adalah proses menyebarnya agama Islam di Nusantara (sekarang Indonesia). Islam dibawa ke Nusantara oleh pedagang dari Gujarat, India selama abad ke-11, meskipun Muslim telah mendatangi Nusantara sebelumnya.[butuh rujukan] Pada akhir abad ke-16, Islam telah melampaui jumlah penganut Hindu dan Buddhisme sebagai agama dominan bangsa Jawa dan Sumatra. Bali mempertahankan mayoritas Hindu, sedangkan pulau-pulau timur sebagian besar tetap menganut animisme sampai abad 17 dan 18 ketika agama Kristen menjadi dominan di daerah tersebut.

Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan perdagangan di luar kepulauan Nusantara. Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Pada akhir abad ke-13, Islam telah berdiri di Sumatera Utara, abad ke-14 di timur laut Malaya, Brunei, Filipina selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa Timur, abad ke-15 di Malaka dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Meskipun diketahui bahwa penyebaran Islam dimulai di sisi barat Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak menunjukkan gelombang konversi bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara, melainkan bahwa proses konversi ini rumit dan lambat.


Meskipun menjadi salah satu perkembangan yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia, bukti sejarah babak ini terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia sangat terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara kala itu. Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan beberapa kesaksian peziarah, tetapi bukti ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Bukti ini tidak bisa menjelaskan hal-hal yang lebih rumit seperti bagaimana gaya hidup dipengaruhi oleh agama baru ini, atau seberapa dalam Islam mempengaruhi masyarakat. Dari bukti ini tidak bisa diasumsikan, bahwa karena penguasa saat itu dikenal sebagai seorang Muslim, maka proses Islamisasi daerah itu telah lengkap dan mayoritas penduduknya telah memeluk Islam; namun proses konversi ini adalah suatu proses yang berkesinambungan dan terus berlangsung di Nusantara, bahkan tetap berlangsung sampai hari ini di Indonesia modern. Namun demikian, titik balik yang jelas terjadi adalah ketika Kerajaan Hindu Majapahit di Jawa dihancurkan oleh Kerajaan Islam Demak. Pada 1527, pemimpin perang Muslim Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa yang baru ditaklukkannya sebagai "Jayakarta" (berarti "kota kemenangan") yang akhirnya seiring waktu menjadi "Jakarta". Asimilasi budaya Nusantara menjadi Islam kemudian meningkat dengan cepat setelah penaklukan ini.

Bukti sejarah penyebaran Islam di Nusantara terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara. Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan kesaksian beberapa peziarah, tetapi hal ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Baik pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun Republik Indonesia lebih memilih situs peninggalan Hindu dan Buddha di Pulau Jawa dalam alokasi sumber daya mereka untuk penggalian dan pelestarian purbakala, kurang memberi perhatian pada penelitian tentang awal sejarah Islam di Indonesia. Dana penelitian, baik negeri maupun swasta, dihabiskan untuk pembangunan masjid-masjid baru, daripada mengeksplorasi yang lama.

Sebelum Islam mendapat tempat di antara masyarakat Nusantara, pedagang Muslim telah hadir selama beberapa abad. Sejarawan Merle Ricklefs (1991) mengidentifikasi dua proses tumpang tindih dimana Islamisasi Nusantara terjadi: antara orang Nusantara mendapat kontak dengan Islam dan dikonversi menjadi muslim, dan/atau Muslim Asia asing (India, China, Arab, dll) menetap di Nusantara dan bercampur dengan masyarakat lokal. Islam diperkirakan telah hadir di Asia Tenggara sejak awal era Islam. Dari waktu khalifah ketiga Islam, 'Utsman' (644-656) utusan dan pedagang Muslim tiba di China dan harus melewati rute laut Nusantara, melalui Nusantara dari dunia Islam. Melalui hal inilah kontak utusan Arab antara tahun 904 dan pertengahan abad ke-12 diperkirakan telah terlibat dalam negara perdagangan maritim Sriwijaya di Sumatra.

Kesaksian awal tentang kepulauan Nusantara terlacak dari Kekhalifahan Abbasiyah, menurut kesaksian awal tersebut, kepulauan Nusantara adalah terkenal di antara pelaut Muslim terutama karena kelimpahan komoditas perdagangan rempah-rempah berharga seperti Pala, Cengkeh, Lengkuas dan banyak lainnya.

Kehadiran Muslim asing di Nusantara bagaimanapun tidak menunjukkan tingkat konversi pribumi Nusantara ke Islam yang besar atau pembentukan negara Islam pribumi di Nusantara. Bukti yang paling dapat diandalkan tentang penyebaran awal Islam di Nusantara berasal dari tulisan di batu nisan dan sejumlah kesaksian peziarah. Nisan paling awal yang terbaca tertulis tahun 475 H (1082 M), meskipun milik seorang Muslim asing, ada keraguan apakah nisan tersebut tidak diangkut ke Jawa di masa setelah tahun tersebut. Bukti pertama Muslim pribumi Nusantara berasal dari Sumatera Utara, Marco Polo dalam perjalanan pulang dari China pada tahun 1292, melaporkan setidaknya satu kota Muslim, dan bukti pertama tentang dinasti Muslim adalah nisan tertanggal tahun 696 H (1297 M), dari Sultan Malik al-Saleh, penguasa Muslim pertama Kesultanan Samudera Pasai, dengan batu nisan selanjutnya menunjukkan diteruskannya pemerintahan Islam. Kehadiran sekolah pemikiran Syafi'i, yang kemudian mendominasi Nusantara dilaporkan oleh Ibnu Battutah, seorang peziarah dari Maroko, tahun 1346. Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah menulis bahwa penguasa Samudera Pasai adalah seorang Muslim, yang melakukan kewajiban agamanya sekuat tenaga. Madh'hab yang digunakannya adalah Imam Syafi'i dengan kebiasaan yang sama ia lihat di India

Wednesday, 15 November 2017

PESANTREN : CERITA SANTRI

BILIK SANTRI - Alkisah, di satu desa, sudah sangat lama tidak turun hujan, sumber air mulai mengering dan penduduk mulai mengeluh. Rapat desa memutuskan untuk meminta seorang kyai bersama para santrinya untuk memimpin shalat istisqa' (shalat minta hujan) dan doa-doa.


Cerita Santri

Terkumpullah 500 orang santri bersiap shalat istisqa' dan memanjatkan doa dipimpin oleh sang kyai. Dari 500 orang santri tersebut semuanya memegang kitab suci Al Quran, tetapi uniknya dari 500 orang santri tersebut hanya ada 1 orang yang membawa kitab suci dan ... payung !!

Tentunya sang kyai juga membawa payung. Melihat fenomena tersebut, sang kyai hanya tersenyum. Sesuai shalat istisqa' dan doa bersama, sang kyai menguji sang santri yang membawa payung tersebut, "saya perhatikan dari 500 santri ini hanya kamu yang bawa payung, kenapa?"

Sang santri menjawab, "karena saya yakin hujan akan turun".

Apa hikmah yang bisa kita petik dari kisah diatas?

Sederhana ...

Selama ini kita begitu gigihnya berjuang, "fight", ber-jibaku demi mengejar kesuksesan. Siang hari kita bekerja penuh semangat dan antusiasme, di malam hari kita berdoa kepada Tuhan.

Tetapi ...

Perlu juga sekali-kali kita menguji diri kita sendiri, dengan mengajukan pertanyaan "apakah kita yakin kita akan sukses?" Lalu persiapan "payung" apa yang sudah kita bawa sejak saat ini?

Teman saya sibuk membangun garasi dan carport di rumahnya, padahal kemana-mana dia masih pakai motor. Ramai tetangga membicarakan gelagatnya, namun teman saya ini hanya menjawab, "Kan saya yakin bakalan punya mobil dalam waktu dekat". Yaak ... dia memang ada bisnis yang dikerjakan dan dia pun berdoa dengan khusyuk dan memang dia berencana akan membeli mobil (maklum anaknya 3, nggak muat diangkut semua pakai motor kan?).

Lalu,

Pertanyaannya ....

Sejauh mana tingkat keyakinan kita terhadap usaha-usaha mengejar sukses yang kita lakukan selama ini?

"Payung" apa saja yang sudah kita persiapkan sejak saat ini?

Yuuk, Silahkan dipersiapkan "payung" masing-masing. Semoga Tuhan berkenan mengabulkan doa-doa kesuksesan kita.

Sebab suksesnya kita adalah bukan untuk diri kita sendiri, melainkan suksesnya kita adalah sebuah amanat untuk berbagi dan membantu orang-orang lain untuk bisa sukses juga.