Showing posts with label AGAMA. Show all posts
Showing posts with label AGAMA. Show all posts

Tuesday, 6 February 2018

Pengertian Syariat, Ilmu Fikih Dalam Agama Islam

1. Syariat
Secara etimologis, kata syariat, (dalam bahasa Arab, aslinya, syarî’ah/ شريعة) berasal dari kata syara’a ( شرع) yang berarti jalan ke tempat keluarnya air untuk minum atau tempat lalu air di sungai. Dalam perkembangannya, kata syari’ah digunakan orang Arab untuk konotasi jalan lurus ( الطريقة المستقيمة ).
Dalam al-Qur`an kata syara`a, dalam berbagai bentuknya diungkapkan sebanyak lima kali, yaitu surat al-Maidah/ 5: 48, al-A`raf/ 7: 163; al-Syûra/ 42: 13 dan 21, dan dalam surat al-Jâtsiyah/ 45: 18. Kata syariat pada ayat-ayat tersebut mengandung arti jalan yang lurus dan jelas menuju kebahagiaan hidup. Pengertian ini menurut para ahli, identik dengan pengertian agama (al-din/ الدّين ). Karena hanya agamalah yang dapat membimbing manusia kepada kebenaran hakiki untuk memperoleh kemenangan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Firman Allah dalam surat al-Jâtsiyah ayat 18.
ثمّ جعلناك على شريعة من الأمر فاتّبعها
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu.

Dalam surat al- Syûra ayat 13 ditegaskan:
شرع لكم من الّذين ما وصّى به نوحا والّذي أوصينا إليك ما وصّينا به إبراهيم وموسى وعيسى أن أقيموا الدّين ولا تفرّقوا فيه
Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu; tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.
Kata syariat dalam ayat di atas, tampaknya, identik dengan agama, yang mengandung arti mengesakan Allah, mematuhi dan mengimani utusan-Nya, kitab-kitab-Nya, hari pembalasan, dan mentaati segala sesuatu (perintah dan, atau larangan Allah) yang membawa seseorang menjadi muslim dalam arti sesungguhnya.
Apabila dicermati arti syariat secara bahasa di atas, tampaknya terdapat keterkaitan kandungan makna antara syari’at dengan air, seperti dijelaskan Amir Syarifuddin, bahwa orang yang mematuhi syariat, ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan lahiriah (fisik) sebagaimana Dia menjadikan syariat sebagai penyebab kehidupan jiwa (batiniah) manusia.
Menurut istilah, Mannâ’ al-Qatthân mengemukakan, bahwa syariat adalah:
ما شرع الله لعباده من العقائد والعبادات والأخلاق والمعاملات
Segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-Nya baik menyangkut akidah, ibadah, akhlak maupun mu`amalah.
Defenisi di atas, tampaknya masih mengacu pada pengertian agama (al-dîn), dimana aspek-aspek pokok ajaran agama (Islam) dimasukkan ke dalam cakupan syariat.
Muhammad ‘Alî al-Sâyis. Berdasarkan kesimpulannya terhadap pendapat para ulama, mengatakan bahwa syari’at adalah:
الأحكام الّتي سنّها الله لعباده ليكونوا مؤمنين عاملين على ما يسعدهم فى الدّنيا والآخرة
Hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah agar manusia beriman dan beramal saleh, yang dapat membuat mereka bahagia di dunia dan di akhirat.
Menurut al-Sâyis, pengertian syari’at seperti ini mengandung tiga dimensi; salah satunya adalah dimensi hukum, yaitu meliputi tindakan-tindakan manusia, seperti ibadah, mu`amalah, hukuman dan lain sebagainya yang termasuk ke dalam kajian fikih. Pengertian inipun masih berorientasi pada pengertian agama.
Sementara, menurut Mahmûd Syaltût, syariat adalah:
هي النّظم الّتى شرعها الله أصولها ليأخذ الإنسان بها نفسه بعلاقاته بربّه وعلاقاته بأخيه المسلم وعلاقاته بأخيه الإنسان وعلاقاته بالكون وعلاقاته بالحياة
Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah atau hasil penalaran atas dasar ketentuan tersebut, untuk dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan umat manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan umat manusia; sesama muslim atau non muslim, maupun dengan alam sekitarnya.
Pengertian yang dikemukakan Syaltût ini dengan jelas telah memisahkan antara agama dengan syariat. Menurutnya, agama (Islam) terdiri dari dua ajaran pokok, yaitu akidah dan syariat, dimana syariah lebih dikhususkan pada persoalan amaliah. Lebih lanjut, masih menurut Syaltût, aspek akidah merupakan pondasi tempat tumbuh dan berkembangnya syariah. Sedangkan syariah adalah sesuatu yang harus tumbuh dari akidah itu.
Defenisi di atas juga menunjukkan, bahwa syariat --sebagai ketentuan yang mengatur persoalan-persoalan amaliah-- terdiri dari dua kategori; pertama, ketentuan-ketentuan hukum yang secara langsung ditetapkan oleh Syâri’ (Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur`an dan Sunnah). Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat abadi dan tidak berubah, karena tidak ada yang punya wewenang merubahnya kecuali Allah.
Kedua, ketentuan-ketentuan hukum hasil kajian para ulama mujtahid yang merujuk pada al-Qur`an dan Sunnah dengan menggunakan metode-metode istinbâth hukum seperti kias, mashlahah al-mursalah, istihsan, sadd al-dzarî’ah ataupun metode ijtihad lainnya. Ketentuan-ketentuan hukum kategori kedua ini tidak memiliki sifat keabadian dan bisa berubah-ubah dan amat dipengaruhi oleh keilmuan mujtahid yang bersangkutan serta lingkungan dan dinamika kultur masyarakat.


2. Fikih
Secara lughawi (semantis), kata fikih berasal dari bahasa Arab, fiqh/ فقـه bermakna mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik.
Di beberapa tempat, al-Qur`an menggunakan kata”faqiha/ فقـه ” dalam berbagai bentuknya untuk pengertian yang umum, yaitu pemahaman. Himbauan al-Qur`an "ليتفقّهوا فى الدّين" (untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama) menunjukkan bahwa fikih tidak menegaskan suatu pengertian eksklusif tentang hukum, melainkan suatu pemahaman yang mendalam tentang agama (Islam) secara umum. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa awal Islam, istilah fikih belum memiliki arti khusus. Kendati demikian, terminologi fikih mulai mengarah pada kedalaman intensitas keyakinan, tauhid, hukum-hukum dan ajaran Islam lainnya. Keadaan seperti ini menurut kesimpulan Ahmad Hasan, berjalan sampai pada abad kedua Hijriah, dimana terminologi fikih mencakup persoalan-persoalan teologis, akhlak dan hukum. Sebuah buku yang terkenal, al-Fiqh al-Akbar, yang dinisbahkan pada Abu Hanifah (w. 150 H.), menurut Hasan, adalah bukti nyata di mana Abu Hanifah memasukkan persoalan-persoalan akidah, hukum dan akhlak sebagai bagian yang dicakup oleh terminologi fikih.
Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya, muatan terminologi fikih tidak lagi bersifat umum, melainkan khusus pada hukum-hukum syari’ah yang berkaitan dengan perbuatan manusia.
Secara istilah defenisi fikih yang dikemukakan oleh para ulama fikih (fuqahâ`) berkisar:
االعلم بالأحكام الشّرعيّة العمليّة المكتسب من أدلّتها التّفصيليّة
Ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah yang ditemukan dari dalil-dalilnya yang rinci.
Berdasarkan defenisi di atas, paling tidak ada empat hal yang membedakan istilah fikih, sebagai salah satu disiplin ilmu keislaman, dengan selainnya, yaitu:
Pertama, fikih adalah suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, sudah jelas, fikih memiliki tema pokok dengan kaidah-kaidah serta prinsip-prinsip khusus. Karenanya, dalam mengkaji fikih para mujtahid menggunakan metode-metode atau pendekatan tertentu, seperti kias, istihsan, mashâlih al-mursalah, sadd al-dzarî`ah, atau metode ijtihad lainnya.
Kedua, fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat. Penggunaan kata " بالأحكام الشرعيّة "(tentang hukum-hukum syariat) menunjukkan bahwa kajian dan ruang lingkup fikih menyangkut ketentuan-ketentuan yang bersifat syar`i dan tidak mencakup persoalan-persoalan yang di luar hukum syarak, seperti hukum-hukum akal. Contoh, satu adalah separoh dari dua, tidak termasuk ke dalam pengertian fikih menurut istilah.

Ketiga, fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah.
Kata amaliah menunjukkan bahwa hukum-hukum fikih selalu berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu`amalah. Dengan demikian, hukum-hukum non amaliah, seperti masalah-masalah yang berkaitan dengan dasar-dasar iman (i`tiqâdiyyah) serta cabang-cabangnya, tidak termasuk ke dalam kajian fikih.
Keempat, fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah yang ditemulkan dari dalil-dalilnya yang tafshîlî.

Artinya, hukum-hukum fikih diambil atau digali dari sumbernya yaitu nash al-Qur`an atau hadis melalui proses istidlâl (pencarian hukum dengan dalil), atau istinbâth (deduksi atau penyimpulan), atau analisis (nazhar). Pengetahuan tentang kewajiban shalat lima waktu, salah satu contoh, tidak termasuk ke dalam pengertian fikih, karena hal ini secara langsung (tekstual) dapat ditemukan di dalam nash.

Adapun kata tafshili, maksudnya adalah satuan-satuan dalil yang masing-masing menunjukkan kepada suatu hukum dari suatu perbuatan tertentu, apakah haram, wajib, makruh, dan, atau kategori hukum lainnya.

Dari definisi fikih dan penjelasannya di atas dapat dipahami, bahwa fikih --yang menurut Amir Syarifuddin adalah dugaan kuat yang dicapai oleh seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah-- berbeda dengan syariat. Perbedaan itu dapat dilihat, antara lain dari segi di mana syariat itu bersifat tetap dan --kebenaran serta keadilannya-- pasti karena berasal dari kehendak Allah (sebagai Syâri’ atau Pembuat syariat). Seperti ditegaskan Abu Zahrah, hanya Allah yang berhak menetapkan hukum syarak. Sementara fikih, tidak bersifat tetap. Fikih bisa saja diubah dan dirombak sesuai dengan perbedaan tempat, perubahan waktu, serta lingkungan dan dinamika kultur masyarakat di mana fikih itu diterapkan.

Begitu juga kebenaran dan keadilan fikih tidak bersifat pasti, melainkan nisbi (relatif). Sifat fikih yang demikian disebabkan fikih adalah interpretasi terhadap hukum syarak. Satu hal lagi, dan tidak bisa diingkari, berdasarkan fakta sejarah pembentukan fikih, bahwa faktor sosio kultural, politik, dan faktor-faktor lainnya ikut mempengaruhi bagaimana bentuk atau corak suatu fikih.
Meskipun demikian, syariat bukan fikih, akan tetapi keduanya memiliki hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Karena, syariat adalah asal, pokok, sari atau inti, ajaran yang ideal serta berlaku secara universal. Sementara fikih, adalah cabang (furû), atau perwujudan dan syariat. Dalam kedudukannya sebagai cabang atau perwujudan dari syariat, fikih harus responsif terhadap persoalan-persoalan di sekitarnya. 

Dalam kaitan ini, Muhammad ‘Alî al-Sâyis mengatakan bahwa formulasi fikih tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh yang bersifat kultural, dan karenanya, masa berlakunya bersifat temporal sesuai dengan kebutuhan ruang dan zaman tertentu. Konsekuensinya, seperti diutarakan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, perubahan dan perbedaan fatwa atau opini hukum dapat terjadi karena perbedaam waktu, tempat, situasi, tujuan, niat dan adat istiadat. Hal di atas adalah suatu keniscayaan sehingga fikih, sebagai perwujudan syariat memiliki adaptabilitas dengan dinamika kehidupan sosial yang setiap saat terus berubah dan berkembang. Di sinilah letak pentingnya arti fikih bagi syariat. Syariat, sebagai ajaran yang diyakini, selalu up to date (cocok sepanjang zaman), hanya bisa dibuktikan melalui fikih. Konsep-konsep syariat yang ideal --dan untuk kategori hukum yang berhubungan dengan kategori kemasyarakatan umumnya bersifat global-- harus diterjemahkan dalam tataran praktis, wujud nyata atau dibumikan --meminjam istilah Quraish Shihab-- dalam realitas sosial, lagi-lagi melalui fikih.
Dengan demikian, pengembangan syariat sangat tergantung pada fungsi dan pola fikih. Dan, pengamalan hukum-hukum fikih adalah bagian dari pengalaman syariat juga. Dengan ungkapan lain, fikih adalah bagian dari syariat, tetapi bukan syariat itu sendiri.

3. Hukum Islam
Kata hukum dan Islam, keduanya berasal dari bahasa Arab dan digunakan dalam al-Qur`an di beberapa tempat. Akan tetapi, al-Qur`an tidak pernah menggunakan kedua kata ini secara bergandengan. Begitu juga dalam literatur hukum Islam klasik, sejauh yang penulis ketahui tidak pernah menggunakan kata hukum Islam. Ungkapan yang digunakan – yang mengandung konotasi hukum-- biasanya adalah kata syarî’ah al-Islâm, hukum syara’, syarî’ah atau syara’, dan, atau fikih.
Para pakar hukum Islam menduga, bahwa istilah hukum Islam merupakan terjemahan Indonesia dari islamic law, yang sering dijumpai dalam literatur yang berbahasa Barat.
Untuk memudahkan dalam memahami istilah hukum Islam, terlebih dahulu harus dipahami apa pengertian hukum itu sendiri. Memang, tidak mudah untuk membicarakan istilah hukum jika ingin memulainya dengan sebuah defenisi yang memuaskan. Berbagai ahli mengemukakan beragam defenisi tentang hukum sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Keragaman defenisi hukum tersebut, menurut Hart (seorang pemerhati hukum dari Universitas Oxford) sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh perbedaan cara melihat hukum itu sendiri daripada perbedan pandangan tentang apa yang dimaksud hukum. Orang yang bergerak di bidang hukum, lanjut Hart, umumnya mengetahui hukum tersebut, tetapi ia sering mendapat kesulitan untuk menerangkannya kepada orang lain dalam bentuk sebuah defenisi yang tegas.
Secara leksikal, kata hukum --seperti disebutkan di atas-- berasal dari bahasa Arab, yaitu hukm ( حكم ), jamaknya ahkâm ( أحكام ) yang berarti, antara lain menolak. Dari sinilah terbentuk kata al-hukm ( الحكم ) yang, antara lain, berarti menolak kezaliman atau penganiayaan.
Dalam bahasa Indonesia, kata hukum juga mengandung beberapa pengertian. Di antaranya, yang penting disebutkan di sini adalah:
(1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau otoritas; (2) undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis, dan sebagainya.
Adapun menurut istilah, sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, para ahli memberikan defenisi yang beragam tentang hukum. Dari sejumlah defenisi tersebut, menurut Hazairin, sebagaimana telah disinggung, dapat dikelompokkan kepada dua pandangan. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa hukum hanyalah suatu segi dari penjelmaan hidup kemasyarakatan. Yakni, serangkaian perhubungan tertentu yang timbul dalam, dan dari masyarakat tertentu pula. Jelasnya menurut pandangan ini, hukum adalah seperangkat peraturan hidup yang berpokok kepada hak dan kewajiban yang berlaku selama didukung oleh masyarakat itu. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa hukum bukanlah hanya suatu segi dari penjelmaan hidup masyarakat saja. Dengan kata lain, tidak hanya sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan ada kaitannya –yang sangat erat—dengan Tuhan. Bahkan melihat tuhan sebagai sumber hukum yang utama. Yang disebut pertama, oleh Hazairin, dinamakan dengan paham kemasyarakatan, dan, yang kedua, dinamakannya dengan paham ketuhanan.

Defenisi hukum yang dikemukakan Muhammad Muslehuddin (cendikiawan muslim lulusan Fakultas Hukum Universitas London), agaknya mendekati kedua paham (pandangan) di atas, yaitu: kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, di mana suatu negara atau masyarakat tertentu menerima aturan-aturan tersebut.
Apabila dihubungkan defenisi Muslehuddin ini dengan pengertian hukum secara bahasa di atas, maka dapat dirumuskan bahwa hukum pada hakekatnya merupakan kaedah atau pegangan bagi manusia yang digunakan sebagai pembatas sikap, prilaku dalam melangsungkan hubungan dan kegiatan dengan sesama manusia lainnya dalam pergaulan hidup masyarakat. Jika seseorang telah mematuhi hukum yang berlaku, atau berbuat sesuai dengan hukum, maka orang tersebut akan menolak berbuat zalim atau aniaya, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap sesama manusia, maupun terhadap sesama makhluk.

Bila hukum itu dihubungkan dengan hukum Islam atau hukum syara’, maka akan terbayang bahwa hukum Islam adalah hukum yang sesuai dengan --atau berdasarkan-- kehendak Allah. (Itulah sebabnya mengapa seorang mukalaf yang bertindak menurut hukum (Islam) dalam segala macam situasi dan kegiatan dianggap memenuhi kehendak Allah). Akan tetapi, seperti ditegaskan Amir Syarifuddin, sebagian besar kehendak Allah itu tersimpan di balik apa yang tertulis dalam al-Qur`an dan hadis Rasul-Nya (syariat). Untuk itu, lanjut Amir, dibutuhkan pemahaman yang mendalam tentang al-Qur`an dan hadis (syariat) itu. Hasil pemahaman tersebut, yang dituangkan dalam bentuk ketentuan rinci, dinamakan fikih.

Dengan dasar pemikiran seperti di atas, maka pernyataan Hasbi Ash-Shiddieqy yang menyamakan fikih Islam dengan hukum Islam dapat diterima. Menurut Hasbi, hukum Islam adalah koleksi daya upaya fuqahâ (ahli hukum Islam) untuk menerapkan syariat sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kata ”koleksi … syariat” dalam defenisi di atas menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam --seperti, juga, ditegaskan Amir Syarifuddin-- adalah yang bernama fikih dalam literatur Islam yang berbahasa Arab. Cuma saja, dalam penggunaan kata-kata hukum Islam --dikalangan umat Islam Indonesia-- sering menimbulkan kebingungan. Istilah hukum Islam, seperti halnya fikih, sering diidentikkan dengan syariat dalam arti sempit. Padahal, seperti telah dijelaskan, fikih atau hukum Islam memiliki perbedaan yang cukup mendasar dengan syariat dalam pengertian teknis.

Sedangkan kata ”sesuai kebutuhan masyarakat” menunjukkan bahwa hukum Islam itu harus dinamis, disamping harus memiliki daya adaptabilitas dengan realitas kehidupan masyarakat. Artinya, ruang dan waktu serta kondisi-kondisi tertentu akan mempengaruhi corak hukum Islam, dimana koleksi daya upaya fuqahâ` (fikih-fikih klasik), seperti disinggung Hasbi dalam defenisi di atas, --untuk bab-bab tertentu-- tidak harus dilaksanakan secara kaku atau tekstual, melainkan harus melalui transformasi. Hukum Islam dalam konteks ini adalah hukum Islam (fikih) lokal.

Dengan demikian, hukum Islam yang berlaku pada suatu negara nasional bisa saja berbeda dengan hukum Islam yang berlaku di negara nasional lain seperti perbedaan suatu mazhab dengan mazhab lain dalam pengertian fikih tradisional.


Sungguhpun begitu, hukum Islam dalam berbagai negara nasional tetap berasal dari sumber yang sama, yaitu syariat sebagai hukum Ilahi yang bertujuan menjaga lima hal seperti tersimpul dalam maqâshid al-syarî’ah (tujuan hukum disyariatkan).

Sunday, 4 February 2018

PERSEBARAN ISLAM DI INDONESIA

Penyebaran Islam di Nusantara adalah proses menyebarnya agama Islam di Nusantara (sekarang Indonesia). Islam dibawa ke Nusantara oleh pedagang dari Gujarat, India selama abad ke-11, meskipun Muslim telah mendatangi Nusantara sebelumnya.[butuh rujukan] Pada akhir abad ke-16, Islam telah melampaui jumlah penganut Hindu dan Buddhisme sebagai agama dominan bangsa Jawa dan Sumatra. Bali mempertahankan mayoritas Hindu, sedangkan pulau-pulau timur sebagian besar tetap menganut animisme sampai abad 17 dan 18 ketika agama Kristen menjadi dominan di daerah tersebut.

Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan perdagangan di luar kepulauan Nusantara. Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Pada akhir abad ke-13, Islam telah berdiri di Sumatera Utara, abad ke-14 di timur laut Malaya, Brunei, Filipina selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa Timur, abad ke-15 di Malaka dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Meskipun diketahui bahwa penyebaran Islam dimulai di sisi barat Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak menunjukkan gelombang konversi bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara, melainkan bahwa proses konversi ini rumit dan lambat.


Meskipun menjadi salah satu perkembangan yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia, bukti sejarah babak ini terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia sangat terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara kala itu. Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan beberapa kesaksian peziarah, tetapi bukti ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Bukti ini tidak bisa menjelaskan hal-hal yang lebih rumit seperti bagaimana gaya hidup dipengaruhi oleh agama baru ini, atau seberapa dalam Islam mempengaruhi masyarakat. Dari bukti ini tidak bisa diasumsikan, bahwa karena penguasa saat itu dikenal sebagai seorang Muslim, maka proses Islamisasi daerah itu telah lengkap dan mayoritas penduduknya telah memeluk Islam; namun proses konversi ini adalah suatu proses yang berkesinambungan dan terus berlangsung di Nusantara, bahkan tetap berlangsung sampai hari ini di Indonesia modern. Namun demikian, titik balik yang jelas terjadi adalah ketika Kerajaan Hindu Majapahit di Jawa dihancurkan oleh Kerajaan Islam Demak. Pada 1527, pemimpin perang Muslim Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa yang baru ditaklukkannya sebagai "Jayakarta" (berarti "kota kemenangan") yang akhirnya seiring waktu menjadi "Jakarta". Asimilasi budaya Nusantara menjadi Islam kemudian meningkat dengan cepat setelah penaklukan ini.

Bukti sejarah penyebaran Islam di Nusantara terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara. Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan kesaksian beberapa peziarah, tetapi hal ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Baik pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun Republik Indonesia lebih memilih situs peninggalan Hindu dan Buddha di Pulau Jawa dalam alokasi sumber daya mereka untuk penggalian dan pelestarian purbakala, kurang memberi perhatian pada penelitian tentang awal sejarah Islam di Indonesia. Dana penelitian, baik negeri maupun swasta, dihabiskan untuk pembangunan masjid-masjid baru, daripada mengeksplorasi yang lama.

Sebelum Islam mendapat tempat di antara masyarakat Nusantara, pedagang Muslim telah hadir selama beberapa abad. Sejarawan Merle Ricklefs (1991) mengidentifikasi dua proses tumpang tindih dimana Islamisasi Nusantara terjadi: antara orang Nusantara mendapat kontak dengan Islam dan dikonversi menjadi muslim, dan/atau Muslim Asia asing (India, China, Arab, dll) menetap di Nusantara dan bercampur dengan masyarakat lokal. Islam diperkirakan telah hadir di Asia Tenggara sejak awal era Islam. Dari waktu khalifah ketiga Islam, 'Utsman' (644-656) utusan dan pedagang Muslim tiba di China dan harus melewati rute laut Nusantara, melalui Nusantara dari dunia Islam. Melalui hal inilah kontak utusan Arab antara tahun 904 dan pertengahan abad ke-12 diperkirakan telah terlibat dalam negara perdagangan maritim Sriwijaya di Sumatra.

Kesaksian awal tentang kepulauan Nusantara terlacak dari Kekhalifahan Abbasiyah, menurut kesaksian awal tersebut, kepulauan Nusantara adalah terkenal di antara pelaut Muslim terutama karena kelimpahan komoditas perdagangan rempah-rempah berharga seperti Pala, Cengkeh, Lengkuas dan banyak lainnya.

Kehadiran Muslim asing di Nusantara bagaimanapun tidak menunjukkan tingkat konversi pribumi Nusantara ke Islam yang besar atau pembentukan negara Islam pribumi di Nusantara. Bukti yang paling dapat diandalkan tentang penyebaran awal Islam di Nusantara berasal dari tulisan di batu nisan dan sejumlah kesaksian peziarah. Nisan paling awal yang terbaca tertulis tahun 475 H (1082 M), meskipun milik seorang Muslim asing, ada keraguan apakah nisan tersebut tidak diangkut ke Jawa di masa setelah tahun tersebut. Bukti pertama Muslim pribumi Nusantara berasal dari Sumatera Utara, Marco Polo dalam perjalanan pulang dari China pada tahun 1292, melaporkan setidaknya satu kota Muslim, dan bukti pertama tentang dinasti Muslim adalah nisan tertanggal tahun 696 H (1297 M), dari Sultan Malik al-Saleh, penguasa Muslim pertama Kesultanan Samudera Pasai, dengan batu nisan selanjutnya menunjukkan diteruskannya pemerintahan Islam. Kehadiran sekolah pemikiran Syafi'i, yang kemudian mendominasi Nusantara dilaporkan oleh Ibnu Battutah, seorang peziarah dari Maroko, tahun 1346. Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah menulis bahwa penguasa Samudera Pasai adalah seorang Muslim, yang melakukan kewajiban agamanya sekuat tenaga. Madh'hab yang digunakannya adalah Imam Syafi'i dengan kebiasaan yang sama ia lihat di India

Sunday, 12 November 2017

Arti Iman Kepada Allah

A. Pengertian Iman Kepada Allah

Pengertian Iman secara bahasa Arab adalah percaya, pengertian secara Istilah, iman kepada adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.
Jadi, pengertian Iman Kepada Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah ada dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaanya, kemudian diakui dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan di dunia nyata.
Iman seseorang bisa dikatakan bagus dengan salah satunya beriman kepada Allah dari 3 aspek tadi. Unsur iman merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.



Dalil Naqli Iman Kepada Allah

Adapun dalil Naqli untuk menguatkan penjelasan diatas :
QS. Al-Baqarah 136
Surah Al-Baqarah Ayat 136 dan Artinya
Quran Surah Al-Baqarah Ayat 136 dan Artinya
Artinya :
“Dan Tuhan itu, Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah : 163). 

B. Fungsi Beriman Kepada Allah

1. Menambah Keyakinan
Kita tahu bahwa Allah SWT lah yang menciptakan segala sesuatunya dan membuat kita masih hidup sampai sekarang. Jadi kita harus semakin yakin dan bersyukur kepada Allah

2. Menambah Ketaatan
Dengan beriman kepada Allah dapat menjadikan acuan untuk taat menjalani perintah Allah dan menjauhi laranganya sehingga hati kita akan selalu ingat kepada Allah

3. Menentramkan Hati
Dalam surah Ar-Ra’ad ayat 28 dijelaskan bahwa orang-orang beriman selalu mengingat Allah, dan membuat hati mereka tentram karenanya

4. Dapat Menyelamatkan Hidup Manusia di Dunia Maupun Akhirat
Dalam Quran Surah Al-Mukminin, Allah berfirman : “Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada berdirinya saksi-saksi (hari kiamat)”

5. Mendatangkan Keuntungan dan Kebahagiaan Hidup
Manusia yang beriman kepada Allah hati mereka menjadi tentram, hidup pastinya akan lebih bahagia dan permasalahan menjadi lebih mudah diselesaikan karena Allah akan membantunya.

C. Contoh Perilaku Iman Kepada Allah

Ada banyak sekali contoh perilaku iman kepada Allah yang bisa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti :
Mendirikan Sholat
Menafkahkan sebagian rezeki
Beriman Kepada Kita Allah
Menafkan sebagian hartanya baik disaat waktu lapang ataupun sempit
Selalu berbuat kebajikan
Mampu menahan amarah
Mampu memaafkan kesalahan orang lain
Melaksanakan perintah Allah dari segi ibadah
Berhenti dari perbatan keji dan tidak mengulanginya lagi
Mempercayai dengan benar rukum iman

Saturday, 11 November 2017

Pengertian Iman Dalam Islam

BILIK SANTRI - Iman artinya "Percaya" meyakinkan dengan sungguh-sungguh di dalam hati. sedangkan secara istilah adalah percaya tentang adanya tuhan di ucapkan dengan lisan dan dikerjakan oleh semua anggota tubuh.


Iman secara garis besar dalam pengertian semua keyakinan Islam memiliki dasar pengertian bahwa kita harus percaya tentang adanya Allah SWT. mengerjakan semua perintahnya dan meninggalkan semua larangannya.

proses keimanan lahir dari dasr hati seseorang yang benar-benar takut akan tuhannya, terlebih seorang muslim, agama islam mewajibkan kepada umatnya untuk selalu percaya kepada Allah SWT. tidak sekedar itu juga harus di barengi dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban yang disyareatkan oleh agama misalnya solat, zakat, hajji, puasa dan lain-lain.

konsep dasar iman pada dasarnya merupaka syarat diterinya amal perbuatan orang islam, karna dengan keimanan inilah dapat diterima semua bentuk amalan-amalan lahir dan bathin orang islam.,
sebelum mengetahui ajaran-ajaran dan amalan-amalan manusia maka konsep yang ia harus lakukan selain belajar adalah dengan memiliki rasa keimanan yang teguh, kuat dan ia bawa sampai meninggal. karna iman inilah kunci untuk diterima amal-amal perbuatan orang muslim.

Rukun Iman ada 6 yaitu :
1. Percaya akan adanya Allah SWT
2. Percaya akan adanya Malaikat
3. Percaya akan adanya Kitab-kitab Allah
4. Percaya akan adanya utusan-utusan (Rasul) 
5. Percaya akan adanya hari terakhir (kiamat)
6. Percaya kepada Qada dan Qadar (yaitu semua ketentuan-ketentuan yang baik dan yang buruk hanya berasal dari Allah SWT) seperti Nasib,